EMPAT PILAR KEBANGSAAN DAN SELF-AWARENESS MASYARAKAT INDONESIA
Meski Indonesia telah menjadi 'rumah' kita lebih dari setengah abad, masyarakat multikultur yang kita jalin dalam naungan Bhineka Tunggal Ika belum mewujudkan relasi yang kokoh sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Wabah disintegrasi bangsa masih menjadi bagian kendala utama negara dalam mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan. Umumnya disintegrasi disebabkan ketidakselarasan antara kepentingan-kepentingan masyarakat sebagai pihak yang diatur dengan pemerintah yang mempunyai kendali kuasa. Kesenjangan ini berkorelasi erat dengan pengabaian kearifan lokal. Pemerintah cenderung mengupayakan pembangunan sosial dengan paradigma yang berseberangan dengan falsafah hidup penduduk daerah. Implikasinya, pembangunan tipe ini berpotensi menjauhkan kita dari kearifan lokal yang semestinya menjadi identitas diri. Di samping itu, pemerintah cenderung tidak memahami pola-pola sosial yang ada. Integritas Nasionalisme menjadi rapuh. Kebanggaan bangsa Indonesia (khususnya) generasi muda pada eksistensi kearifan lokal menjadi lemah.
Kendati sangat ironis, hal itu mempunyai basis yang bisa kita terima secara logis. Bahwa pemahaman ke-Indonesia-an belum merekat sebagai self-awareness (kesadaran diri) kolektif masyarakat Indonesia. Hal ini mengakibatkan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan; yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika; sulit untuk efektif. Perlu adanya pemaknaan yang lebih komunikatif menyangkut eksistensi Empat Pilar Kebangsaan. Agar masyarakat Indonesia lebih memahami nilai-nilai Empat Pilar Kebangsaan secara konseptual, bukan hanya teoritis atau normatif semata. Sehingga Empat Pilar Kebangsaan mampu merengkuh masyarakat Indonesia menuju cita-cita bersama dalam mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan merata. Dengan mengimplementasikan Empat Pilar Kebangsaan sebagai self-awareness kolektif masyarakat Indonesia, pembangunan karakter bangsa menuju peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia bisa kita capai bersama. Upaya-upaya pemaknaan dan pengimplementasian Empat Pilar Kebangsaan sebagai self-awareness kolektif masyarakat Indonesia meliputi;
Religiositas dan Kebangkitan Spiritual
Kebangkitan religiositas adalah elemen utama untuk kita untuk mengadopsi Empat Pilar Kebangsaan sebagai self-awareness. Aspek religiositas Indonesia ini dikukuhkan sila pertama Pancasila, yakni: Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita meyakini keberadaan Tuhan yang dimanifestasikan dalam ritual-ritual keagamaan dan ketentuan moral yang mengangkat posisi manusia ke ranah beradab.
Tentunya, religiositas yang dimaksud di sini tidak terbatas pada agama-agama besar semata, melainkan termasuk pengakuan negara atas agama (kepercayaan) tradisional yang berkorelasi erat dengan warisan budaya leluhur bangsa Indonesia. Lebih spesifik lagi, kita wajib memberi ruang agama (kepercayaan) tradisional untuk tetap berkembang sejauh agama (kepercayaan) ini tidak berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketentuan moral yang berlaku.
Memang, religiositas sangat identik dengan agama. Namun pada ranah empiris, religiositas lebih akomodatif dan universal. Kecenderungan mengasumsikan sila pertama Pancasila sebagai 'hanya agama-agama besar (mayoritas)‘ di Indonesia mengakibatkan kita rentan dengan perpecahan dan kompetisi perebutan sumberdaya kehidupan yang dipicu perbedaan agama dan keyakinan. Di antara konsep religiositas yang tersaji dalam literatur di Indonesia, warisan pemikiran YB. Mangunwijaya (6 Mei 1929-10 Februari 1999) yang akrab dipanggil ―Romo Mangun‖ sangat representatif.
Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada ―Dunia Atas‖ dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir kitab-kitab keramat dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan (Gesellschaft, bahasa Jerman). Religiositas lebih melihat aspek yang ―di dalam lubuk hati‖, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri untuk orang lain, sebab menapaskan intimitas jiwa, du coeur dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawinya) ke dalam si pribadi manusia. Dan sebab itu, pada dasarnya religiositas mengatasi atau lebih dalam daripada agama yang tampak, formal, dan resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinschaft) yang cirinya lebih intim.
Pada tingkat religiositas, bukan peraturan atau hukum yang berbicara, akan tetapi keikhlasan, kesukarelaan, kepasrahan diri kepada Tuhan. Dalam rasa hormat takjub, namun juga dalam rasa cinta. Dalam suasana pujaan yang tidak lagi mencari menang. Karena tergenang oleh rasa syukur penuh rendah hati.
Sebab kita sadar bahwa kita yang menang bukanlah agama ini atau itu, melainkan Tuhan Allah sendiri, Yang Mahaagung, namun juga Yang Maha Pemurah dan Maha Kasih. Yang kalah pun bukan orang siapa atau agama yang mana, melainkan kelaliman, kebohongan, kesombongan kesewenang-wenangan, iblis, roh serat pikiran-pikiran jahat, tingkat nista. Dalam taman sari religiositas bunga-bunga yangmacam -macam corak tidak saling bersaing, tetapi memeriahkan. Pohon-pohon tidak mencemoohkan perdu atau rumput, tetapi saling menyumbang demi keselarasan keseluruhan. Seperti juga suami yang tidak meremehkan istri, ―hanya‖ sebab dia perempuan; dan istri kagum bangga sebab suaminya justru lelaki sejati (Mangunwijaya, 1986).
Sehingga bisa kita amati bahwa religiositas bersifat universal dan identik dengan relasi yang lebih intim antara individu atau masyarakat dengan Tuhan yang diyakini dengan menjadikan perilaku budi luhur sebagai ekspresi rohani. Korelasi antara agama dan religiositas inilah yang belum menjadi bagian self-awareness kolektif di Indonesia. Kita cenderung beriman dengan dominasi kesalehan religi ―Dunia Atas‖ dan mengabaikan kesalehan sosial. Sehingga banyak kita temukan individu beragama tapi tidak beriman. Contoh sederhana yang paling menonjol bisa kita lihat dari fenomena beberapa partai politik yang memanipulasi agama untuk merebut simpati massa. Oknum aktor partai politik ini menggunakan jasa kiai, ustadz, dan pemimpin-pemimpin spiritual lainnya dengan membawa ayat-ayat kitab suci sebagai jembatan komunikasi massa. Tapi setelah meraih kedudukan di lembaga pemerintah yang mereka inginkan, mereka korupsi berjamaah, menelurkan kebijakan-kebijakan yang memiskinkan rakyat, dan melaksanakan berbagai tindakan asusila lainnya. Inilah cermin individu beragama tanpa nilai-nilai religiositas yang masih menjamur di Tanah Air.
Pemahaman kita menyangkut agama yang padu dengan aspek religiositas akan mengantarkan kita pada ruang toleransi yang dicitrakan Bhineka Tunggal Ika. Indonesia bukan negara Islam, Kristen, Buddha, Hindu, keyakinan religi, ataupun agama tradisional lainnya. Melainkan, Indonesia adalah negara religiositas. Di mana kita sama-sama menyadari keberadaan kekuatan gaib yang berada di luar kita, yang Mahakuasa, yang kita sembah dengan ritual atau cara yang berbeda.
Tidak diperkenankan adanya pemaksaan dalam menganut atau menyebarkan agama apapun. Inilah sebuah indikasi bahwa pembelajaran agama mayoritas lembaga pendidikan di Indonesia wajib kita rekontruksi. Materi pembelajaran wajib mengedepankan visi religiositas agama yang diajarkan. Agar agama yang dianut memberikan kedamaian, ketentraman, dan energi sebagai etos kerja dalam pembangunan sosial. Tidak ada lagi persaingan antraumat beragama, saling hujat, atau saling sesat-menyesatkan. Kita bisa saling bahu-membahu dalam mencapai kemakmuran dalam kekeluargaan di rumah yang 'bernama‘ Indonesia. Sisi positif pengetahuan religiositas akan mendorong kita memberi ruang agama- agama tradisional sebagai bagian aset bangsa yang mempunyai pesona, daya tarik pariwisata, dan minat penelitian ilmiah. Ugamo Malim adalah salah satu agama tradisional yang berada pada tataran ini.
Ugamo Malim dalam peradaban Indonesia berakar dari sistem budaya Batak, Sumatera Utara; adalah salah satu agama (kepercayaan) tradisional yang patut kita hormati. Dalam bahasa lokal penganut Ugamo Malim; ugamo berarti agama dan malim berarti suci. Sehingga bisa kita ramu dalam pemahaman harfiah, Ugamo Malim berarti Agama Suci. Sipahalima sebagai ritual keagamaan komunitas keagamaan yang akrab disebut Parmalim ini adalah salah satu daya tarik tamasya yang tidak ubahnya mutiara terpendam di Sumatera Utara.
Raja Marnangkok Naipospos, pemimpin upacara itu, mengatakan, ―Yang haram dan bertentangan dengan ajaran ugamo Malim adalah melaksanakan pekerjaan- pekerjaan yang kotor dan merugikan orang lain seperti minum minuman keras, melaksanakan korupsi. Jangan memakai narkoba dan jangan melaksanakan yang tidak patut untuk dikerjakan. Marilah kita menghemat namun bukan untuk menumpuk harta.‖ Begitulah khotbah yang disampaikannya, saat memberikan wejangan terakhir, di ritual Sipahalima, yang berlangsung di Huta Tinggi, Laguboti, Balige Sipahalima berarti 'bulan kelima‘. Ritual ini menjadi elemen utama ritual Ugamo Malim yang dirayakan setahun sekali sebagai pameleon bolon atau persembahan kepada Mula Jadi Nabolon. Pameleon bolon secara tersirat dilakukan untuk ungkapan syukur atau mauliate godang kepada Sang Khalik (dalam keyakinan Ugamo Malim) yang telah menganugerahkan limpahan hasil panen padi. Penganut Ugamo Malim tersebar di Nusantara. Sipahalima yang biasanya diselenggarakan di minggu awal bulan Juli menjadi momen pulang ke kampung halaman mereka di Laguboti sebagaimana Lebaran untuk umat Muslim atau Natal untuk umat Nasrani.
Setali tiga uang dengan Ugamo Malim, Komplek Masjid Agung Mataram Kotagede adalah kawasan situs sejarah di Yogyakarta yang menjadi saksi sinkretisme agama Islam dengan agama Hindu yang dianut penduduk lokal terlebih dahulu.
Seni arsitektur Masjid Agung Mataram adalah tipe Jawa tradisional, dengan atap tumpang bersusun tiga, yang dilengkapi dengan serambi dan parit yang mengelilingi masjid di tiga sisi. Gapura masjid ini berbentuk paduraksa atau atap bertingkat. Bentuk paduraksa dan arsitektur tradisional Jawa bercorak Hindu-Buddha adalah wujud toleransi Sultan Agung pada warga yang ikut membangun masjid yang masih memeluk agama Hindu atau Budha.
Tidak hanya segi arsitektur semata, hingga kini ritual keagamaan masyarakat Muslim dan masyarakat penganut Hindu-Buddha di kawasan Komplek Masjid Agung Mataram Kotagede tetap berjalan dengan suasana yang penuh harmoni. Bahkan umat Muslim, biasanya wisatawan, mempunyai kesempatan untuk mengenal inovasi kebudayaan Hindu- Buddha atau Kejawen. Khususnya untuk ritual yang berlangsung di komplek pemakaman Raja-raja Mataram yang menyatu dengan situs sejarah Masjid Agung Mataram Kotagede.
Mengimplementasikan religiositas sebagai self-awareness akan membukakan kita pintu gerbang kebangkitan spiritual. Kita tak akan mudah lagi diguncang polemik sensitif suku, agama, ras, dan adat-istiadat (SARA). Karena memang pada dasarnya polemik SARA bukanlah ciri khas peradaban Indonesia. Sinkretisme agama Islam dan Hindu-Buddha di Kotagede adalah refleksi nyata bahwa bangsa Indonesia telah meretas dan mewujudkan toleransi antarumat beragama jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia.
Bila kejayaan toleransi antarumat beragama masa lalu ini kita kobarkan kembali; citra Indonesia sebagai sarang teroris dan sengketa berbasis SARA; akan terkikis. Dengan demikian, para investor asing dan domestik tak akan mempunyai keraguan dalam berpartisipasi membangun sendi-sendi pariwisata dan pembangunan sosial Indonesia.
Wisatawan pun akan nyaman, aman, dan mengalami peningkatan kunjungan. Demikian pula sektor ekonomi-sosial lainnya, para investor atau ilmuwan asing akan menjadikan Indonesia sebagai minat studi. Sehingga, devisa negara mengalami kenaikan yang progresif dan berkesinambungan.
Bhineka Tunggal Ika
Wacana Bhineka Tunggal Ika akan selalu mengingatkan penulis mengenai pengalaman unik pada seremoni puncak nasional Sumpah Pemuda ke-82 di Surakarta (Solo), 28 Oktober 2010. Penulis terpilih sebagai Wakil Cerpenis Pemuda Berprestasi Penghargaan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia. Waktu itu penulis memakai pakaian adat Jawa, yakni beskap Yogyakarta. Hal ini menjadi kontroversi sebab penulis hadir atas nama Provinsi Sumatera Barat.
Peristiwa itu membuat batin penulis tersentak. Tidak hanya berurusan dengan pihak keamanan, tapi penulis juga memperoleh berbagai protes. Termasuk protes dari tamu Sumatera Barat yang menyatakan bahwa pakaian adat Jawa bukan bagian dari kebudayaan penulis sebagai orang Minang. Dan tentu saja, secara alamiah, penulis membela diri dan mempertanyakan esensi Bhineka Tunggal Ika. Sumpah Pemuda diperingati sebagai wujud peleburan self-awareness kedaerahan; Tanah Air satu, Tanah Air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; berbahasa satu, bahasa Indonesia; bukan Jawa, Kalimantan, Sulawesi, ataupun Sumatera. Bhineka Tunggal Ika adalah INDONESIA. Tapi, kenapa pakaian adat Jawa yang penulis pakai menjadi kontroversi hanya sebab penulis seorang pemuda Sumatera Barat?
Kasus kontroversi beskap-Yogyakarta yang penulis pakai pada akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan kekeluargaan. Apalagi penulis menyatakan motivasi yang kuat untuk memakainya. Bahwasanya, penulis memakai beskap Yogyakarta untuk menghargai budaya Jawa dan membuktikan diri penulis mampu memberikan sesuatu yang berarti untuk Yogyakarta. Hal ini terdorong tindakan yang beraroma prejudice yang penulis alami di Yogyakrta; penulis sering dituduh pendatang‘ yang dipertanyakan kontribusinya untuk Yogyakarta. Sangat ironis, ternyata paham primordial masih mewabah di provinsi yang digadang-gadangkan sebagai kota toleransi.
Berkat argumen yang adalah bagian dari realitas Yogyakarta itu, penulis memperoleh dukungan dan simpati. Terutama dari Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wawasan dan Kreativitas Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga RI, Bapak Twisyono, yang berasal dari Yogyakarta juga. Bapak Twisyono membenarkan bahwa suku Minang masih dianggap sebagai suku 'penjajah‘ di Yogyakarta sebab sangat mendominasi ekonomi mandiri bidang perdagangan, khususnya di kawasan Malioboro.
Saudara-saudara se-Indonesia, pengalaman kontroversi pakaian adat Jawa yang penulis pakai menjadi pelajaran berharga yang selalu penulis bagi. Bahwa, Bhineka Tunggal Ika bukan konsep yang sudah mapan, matang, ataupun telah mempunyai eksistensi mutlak. Bhineka Tunggal Ika adalah sebuah proses peleburan berbagai self-awareness kedaerahan yang masih terus berlangsung hingga sekarang.
Perjuangan kita belum selesai. Benih disintegrasi ada di mana-mana dan bisa muncul dengan bermacam-macam wajah; tidak hanya paham primordial. Hal ini pula menjadi kendala dalam pengembangan pembangunan sosial. Termasuk kasus yang masih subur terjadi di Yogyakarta yang kita kenal sebagai salah satu sentral kebudayaan dan pendidikan Indonesia yang sarat dengan suasana toleransi.
Menurut hemat penulis, perebutan sumber daya kehidupan menjadi polemik yang mendasar dalam mewujudkan Bhineka Tunggal Ika telah terjadi sejak awal peradaban. Termasuk motif pendudukan kolonial Belanda dan Jepang di Indonesia. Upaya penaklukan sebuah bangsa memiliki tujuan untuk menguasai 'sumber daya kehidupan‘; yang terdiri dari sumber
daya alam dan sumber daya manusia; untuk menyalakan pembangunan sosial bangsa penjajah itu. Motif-motif perebutan sumber daya kehidupan di Indonesia antara lain; Pertama, perebutan sumber daya kehidupan era kerajaan-kerajaan daerah yang identik dengan pendudukan kolonial. Terutama obsesi Kerajaan Majapahit untuk menyatukan Nusantara. Tentunya perebutan sumberdaya kehidupan ini melibatkan perang yang menuntut kerugian moril dan materil. Meskipun sebuah kerajaan takluk, tapi invansi atau serangan pihak kerajaan lain berpotensi besar abadi sebagai pengalaman traumatis dalam memori kolektif rakyat kerajaan yang ditaklukkan. Akibatnya, suku bangsa-suku bangsa di Indonesia punya kecenderungan untuk bersikap prejudice.
Kedua, perbedaan adat istiadat mendorong kita untuk mempunyai perspektif kearifan lokal yang berbeda. Sehingga aturan-aturan moral masing-masing suku bangsa juga mempunyai perbedaan. Sepanjang perbedaan ini tidak disikapi secara berkeadilan, kita akan terus tumbuh sebagai bangsa yang bersikap prejudice antar SARA.
SARA cenderung dimaknai sebagai ikatan sosial untuk mencapai eksistensi kebebasan finansial, kuasa, atau politik. Tak heran di Indonesia menjamur komunitas, organisasi, atau bentuk-bentuk golongan lainnya yang berakar dari SARA. Sayangnya kelompok sosial ini bukan hanya memiliki tujuan untuk afiliasi atau mencari relasi yang mempunyai paradigma identik guna mewujudkan visi progresif, tapi mengarah pada dominasi dalam kompetisi perebutan sumberdaya kehidupan. Misalnya, kelompok sosial Muslim saling menjalin relasi persaudaraan untuk memegang kendali pemerintahan dan mewujudkan sistem pemerintahan berbasis syariat Islam.
Ketiga, distribusi pembangunan sosial yang tidak merata. Kita sadari atau tidak, sistem administrasi pemerintahan Indonesia adalah warisan pemerintah kolonial Belanda. Pada masa kemerdekaan ini belum terekontruksi. Termasuk tradisi korupsi, penyimpangan ini sudah terjadi dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Sebagaimana pusat administrasi pemerintahan masa pendudukan kolonial Belanda, pusat administrasi pemerintahan kita menjadikan Pulau Jawa sebagai sentral. Sehingga, pembangunan sosial masa kemerdekaan tetap menjadikan Pulau Jawa sebagai prioritas utama. Sangat ironis, mengingat pembangunan-pembangunan sosial di Pulau Jawa ini didanai sumber daya kehidupan daerah; Provinsi Papua misalnya.
Kendati Provinsi Papua adalah penghasil tambang emas terbesar di dunia, hingga sekarang kesejahteraan penduduk lokal Provinsi Papua masih terbelakang. Tentu saja, secara logika, sangat rasional timbulnya gerakan-gerakan yang menuntut keadilan sosial. Rumitnya, gerakan-gerakan ini cenderung diasumsikan sebagai gerakan separatis yang wajib dibasmi. Ternyata, kemajuan peradaban Indonesia masa kemerdekaan belum mendorong terjadinya pergeseran paradigma manajemen konflik. Manajemen konflik kita masih mengadopsi warisan pendudukan kolonial yang menjadikan kekuatan militer untuk menumpas golongan sosial yang berselisih dengan pemerintah pusat.
Untuk jangka pendek, kekuatan militer memang potensial sebagai media manajemen konflik. Akan tetapi, untuk jangka panjang, manajemen konflik dengan kekuatan militer bisa memperlemah pemerintah pusat. Akan menurunnya simpati pada eksistensi pemerintah pusat. Sejalan dengan ini, self-awareness yang menyangkut Bhineka Tunggal Ika pun menjadi semakin rapuh.
Semestinya, pemerintah wajib mengedepankan nilai-nilai luhur budaya kita sebagai jalan untuk integrasi bangsa. Karena pada dasarnya, sistem budaya Indonesia menganut konsep kekeluargaan. Hal ini sudah dibuktikan solidaritas seluruh suku bangsa Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebangsaan
Meski perkembangan keilmuan di Indonesia terbilang pesat, sebagian pemaknaan kebangsaan masih bersifat politis. Di mana esensi bangsa dan ke-Indonesia-an diasumsikan 'pembayangan‘ atau 'imajinasi‘. Bangsa, menurut Benedict Anderson (1983) adalah komunitas terbayang. Elemen bangsa terkecil pun tak akan pernah tahu dan tidak mengenal sebagian besar elemen lain, bahkan mungkin tak akan pernah mendengar mengenai mereka. Hal terpenting dalam kokohnya sebuah bangsa yaitu adanya perasaan kebersamaan dan persaudaraan sebagai elemen komunitas bangsa itu. Inilah yang memungkinkan para pahlawan rela mengorbankan nyawanya demi pembayangan itu (Wibowo, 2009).
[...] pada dasarnya pembentukan Indonesia adalah suatu imajinasi kelompok kaum cendikiawan (Syarikat Islam, Boedi Utomo, Gerakan Nasionalis Sukarno) yang telah mengenyam pengetahuan-pengetahuan modern sehingga imajinasi keberadaan Indonesia wajib terus diciptakan, disosialisasikan kepada seluruh masyarakat. Salah satu keberhasilan dalam membentuk budaya Indonesia ini adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu di antara kelompok-kelompok etnis (Yasmine, 2006).
Kedua definisi kebangsaan itu penulis temukan dalam jurnal budaya mahasiswa dan buku modul kuliah sebuah perguruan tinggi negeri Indonesia. Saudara-saudara, bisa Anda amati realitas pemahaman kebangsaan di Indonesia pada ranah akademis. Di mana sebuah bangsa diasumsikan 'komunitas yang terbayang‘ atau pembentukan Indonesia sebagai suatu 'imajinasi‘. Bila kita korelasikan dengan realitas sosial yang selama ini kita jalani; berarti kita hidup di negeri bayang-bayang atau negeri imajinasi. Tidak mengherankan bila etos kerja dan loyalitas oknum wakil rakyat sering kali berseberangan dengan spektrum moral dan keadilan sosial. Karena self-awareness mereka tentang Indonesia adalah 'bayang- bayang‘ atau 'imajinasi‘, dunia abstrak, bukan sebuah peradaban dengan proses pertumbuhan yang bisa kita ukur dengan rasionalitas ilmiah.
Demikian pula kita para generasi muda, bila mengadopsi pemahaman 'terbayang‘ atau 'imajinasi‘, maka self-awareness kita pun menjadi 'terbayang‘ atau 'imajinasi‘. Kita hidup di alam abstrak, bukan di dunia realitas yang memberi ruang untuk kita dalam pengabdian dan berkarya untuk masyarakat. Apa bedanya kita dengan kehidupan hantu dalam film-film horor? Jika Anda mengadopsi pemahaman 'terbayang‘ dan 'imajinasi‘ tentang kebangsaan dan ke-Indonesia-an, perspektif ini wajib diubah. Bahwa konsep bangsa dan Indonesia adalah realitas yang bisa kita pertanggungjawabkan dengan kebenaraan ilmiah.
Khususnya tentang pemahaman 'imajinasi‘, kita tidak menampik bahwa imajinasi adalah kekuatan yang luar biasa. Einstein pun mengakui; ilmu pengetahuan terbatas, tapi imajinasi meliputi segalanya. Hanya saja perlu kita tegaskan, imajinasi tak akan pernah lepas dari realitas sosial yang ada. Termasuk Einstein sebagai ahli nuklir. Inovasi nuklir Einstein berakar dari penguasaan beliau dalam ilmu pengetahuan yang berkorelasi erat dengan sumber daya kehidupan yang dia temukan.
Demikian pula proses pembentukan sebuah bangsa dan keberadaan bangsa Indonesia. Sebuah bangsa, khususnya bangsa Indonesia bukanlah komunitas terbayang atau produk imajinasi sekelompok intelektual semata; melainkan bangsa Indonesia mempunyai jalinan darah yang dibuktikan dengan keberadaan peninggalan-peninggalan sejarah, baik yang berupa artefak yang tidak bisa dikembangkan, atau kebudayaan yang terus dilestarikan. Perspektif ini lebih spesifik bisa kita telaah dalam wacana Indonesia sebagai Negara Maritim.
Negara Maritim
Laut adalah nadi bangsa Indonesia. Dasar-dasar peradaban kita selalu berasal dari laut. Keberadaan nenek moyang, persebaran budaya, sampai jalur perdagangan Internasional mempunyai relasi yang sangat sinergis dengan posisi laut di Tanah Air. Maka, Jalesveva Jayamahe (Di lautan kita jaya) adalah seruan kepada bangsa Indonesia untuk megejar dan mempertahankan kemajuan peradaban warisan leluhur di mata dunia.
Sejarah peradaban Indonesia mengajarkan pada kita bahwa kejayaan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan di Nusantara sebelum lahir Negara Kesatuan Republik Indonesia tergantung pada penguasaan laut. Semakin kuat kekuasaan sebuah kerajaan pada dunia maritim, maka semakin besar pengaruh kekuasaan politiknya. Lemahnya proteksi area maritim membuka peluang invansi bangsa-bangsa asing menancapkan cakar penjajahan di bumi pertiwi. Komitmen kita dalam memberdayakan potensi maritim akan menjadi obat penawar untuk krisis multidimensi yang menggerogoti sendi-sendi pemerintahan Indonesia. Ironisnya, Jalesveva Jayamahe belum menjadi bagian dari self-awareness (kesadaran diri) bangsa Indonesia. Sebagai rakyat Indonesia secara kolektif, kita belum mempunyai kelautan dalam peta kognitif. Pengetahuan kelautan kita terbatas. Sehingga kita tidak bisa merawat dan menjaga lautan Indonesia yang kaya dengan kandungan hayati, pariwisata, atau jejak-jejak historis jalur transportasi dunia. Indikasi ini terlihat dari tindak kriminalitas negara-negara asing di perairan Indonesia. Sebuah relief kapal di Candi Borobudur. Bukti eksistensi Jalesveva Jayamah dalam sejarah peradaban Indonesia. Foto Dokumentasi Penulis. Nyaris sepanjang tahun terjadi penjarahan kekayaan hayati laut kita. Bahkan tindak kriminalitas ini telah mengarah pada perampasan pulau-pulau kecil di wilayah perairan Indonesia. Kita masih tertatih dalam menghadapi invansi yang telah merugikan negara milyaran dollar per tahun. Sehingga, aksi-aksi serupa berpotensi besar tetap terjadi dan berkesinambungan. Kekayaan laut yang semestinya meningkatkan perekonomian bangsa dan kesejahteraan rakyat banyak di rampas dari tangan kita. Bangsa Indonesia tidak ubahnya 'burung pipit kelaparan di hamparan padi yang menguning‘.
Tentunya, kita tidak bisa menyalahkan atau menuntut pertanggungjawaban sepihak TNI Angkatan Laut Indonesia. Karena laut adalah bagian dari elemen pembentuk menara sosial-budaya Indonesia. Polemik yang sudah kronik berarti permasalahan kita secara kolektif.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, sejarah peradaban Indonesia bermula dari lautan. Asumsi dasar ini ditegaskan oleh Adrian B. Lapian dalam ORANG LAUT – BAJAK LAUT – RAJA LAUT: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (hal. 1). Menurut Kamus Umum, zaman laut berarti zaman purbakala. Dengan kata lain istilah 'bahari‘ dalam hal ini adalah sinonim dari pengertian 'purbakala‘ atau 'dahulu kala‘. Hal demikian menunjukkan betapa erat pengertian 'bahari‘ dihubungkan dengan 'dahulu kala‘ sehingga seolah-olah sudah dianggap sebagai suatu sinonim. Oleh sebab itu sejarah adalah disiplin yang mempelajari masa laut (masa lampau) hendaknya juga memperhatikan masalah laut (masalah maritim) (Lapian, 2009).
Di lain sisi, sejarah adalah disiplin ilmu yang menjadi refleksi perkembangan seorang individu, baik sebagai makhluk pribadi atau sebagai makhluk sosial. Tanpa mengetahui sejarahnya, seorang individu tak akan pernah menjadi dewasa dan akan terus mengulangi kesalahan. Fenomena inilah yang tampaknya mewabah di Indonesia. Esensi maritim dalam substansi dasar kebudayaan Indonesia dikukuhkan dengan seni arsitektur rumah adat di Nusantara, seperti Rumah Gadang dari Sumatera Barat sebagai sampel pertama. Arsitektur badan rumah adat Sumatera Barat ini identik dengan perahu. Dan dalam sejarah peradaban Sumatera Barat terdapat juga indikasi atap rumah gadang yang menyerupai gonjong meniru layar yang digunakan kapal ekspedisi nenek moyang orang Minang.
Eksistensi maritim dalam budaya alam Minangkabau juga dicitrakan simbolisme seni ukir yang terdapat di Rumah Gadang, misalnya Jalo Taserak (Jala Tersebar); Jalo atau jala (alat yang terbuat dari rajutan benang untuk menangkap hewan laut). Jalo taserak ini melambangkan sistem pemerintahan Datuk Parpatih Nan Sabatang dalam proses mengadili seseorang yang melanggar hukum dengan cara mengumpulkan data dan lalu dipilah-pillih hingga akhirnya diketahui siapa yang sebenarnya bersalah1. Jalo (jala) jelas sebuah perangkat nelayan sebagai bagian dari kebudayaan maritim Indonesia. semakin lengkap dengan filosofi orang Minang 'Alam takambang jadi guru‘ (alam terbentang jadi guru). Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah salah seorang pemimpin dari Istana Pagaruyung. Motif ukir lain yang langsung berkaitan dengan maritim bernama 'Ombak-Ombak jo Pitih-Pitih‘.
Nama ombak pada motif ini diambil dari kata-kata adat: Nak tau di gadang ombak liek ka pasienyo. Jika ingin tahu besarnya ombak, lihatlah pasirnya. Maksudnya adalah bila ingin mengetahui atau mau menilai mengenai sesuatu janganlah hanya dengan memandang atau mendengar dari jauh tetapi haruslah disaksikan, dilihat dan diteliti dari dekat2. Kedatangan nenek moyang orang Minangkabau di Pulau Sumatera bagian barat dan persebarannya juga melalui jalur pelayaran Nusantara. Mulanya di Sumatera Barat rumah- rumah modern tetap memperlihatkan corak gonjong walaupun beratap seng. Pengelupasan esensi budaya maritim terlihat dengan semakin langka pembangunan rumah yang selaras dengan corak rumah adat ini.
Fenomena budaya itu juga terjadi di Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan. Rumah adat Tana Toraja yang disebut Tongkonan mempunyai konsep arsitektur yang identik dengan Rumah Gadang di Sumatera Barat. Bahkan, atap rumah adat Tongkonan persis perahu terbalik.
Perkembangan pola hidup modern yang mengarah pada konsep praktis semakin mengurangi minat pembangunan rumah penduduk dengan arsitektur tradisional. Padahal, Rumah Gadang dan Tongkonan mempunyai konsep arsitektur yang selaras dengan iklim tropis Indonesia. Kedua rumah adat ini mempunyai kolong tinggi untuk sirkulasi udara, atap yang landai agar air hujan meluncur lancar, dan bahan bangunan alamiah (bukan beton) membuat kita tidak terjebak panas saat musim kemarau tiba.
Masih berkorelasi dengan rumah adat; Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta dengan Tim Pengkajian Lembaga Penelitian dan Pengkajian Sejarah dan Antropologi 2004 (2007), menjelaskan di dalam ruang utama Masjid Agung Mataram Kotagede dapat dilihat empat saka guru dari kayu jati utuh, dengan rusuk yang disusun ngruji payung (memusat), dan tidak ada plafond yang berfungsi sebagai langit-langit. Di dalam ruang utama tampak adanya ruang pengimaman/mihrab di dinding sebelah barat, dengan mimbar kayu berukir. Di antara ornamen yang tertera ada ragam geometris, sulur-suluran, bahkan di kaki mimbar ada ornamen berbentuk sepasang hewan yang distilir dengan sempurna sehingga bentuk aslinya tidak dapat dikenali lagi
Bila Anda ke Sumatera Barat dan mencermati motif ukiran di Rumah Gadang, maka Anda akan menemukan konsep ukiran ragam geometris, sulur-suluran, dan hewan yang disamarkan (distilir) dari bentuk asli sebagaimana di Majid Agung Mataram Kotagede. Konsep ukiran ini menandai masuknya pengaruh Islam di Nusantara. Karena dalam ajaran agama Islam; hiasan yang paling indah berwujud bunga (tumbuh-tumbuhan) dan larangan ukiran (gambar timbul) berwujud manusia atau satwa yang frontal. Bisa kita prediksi, jalur perdagangan kebudayaan maritim adalah salah satu jalan persebaran agama kebudayaan Islam.
Perbandingan budaya di atas mengindikasikan konsep Indonesia dalam kerangka integrasi budaya telah ada jauh sebelum kaum intelektual menyatukan kita dengan 'imajinasi‘ atau 'pembayangan‘. Di lain pihak, perspektif kelahiran Indonesia sebab adanya 'musuh bersama‘ atau 'bangsa kolonial‘ wajib kita benahi. Hal ini mengindikasikan kita sebagai bangsa yang ekstrim. Sungguh sebuah realitas yang menyedihkan pula sebab kebangsaan dan bangsa Indonesia dipahami sebagai 'komunitas terbayang‘ atau produk 'imajinasi‘ tanpa adanya realitas sosial berupa peradaban yang sesungguhnya melahirkan 'bayangan‘ atau 'imajinasi‘ itu. Kita semakin jauh dari lautan yang termasuk 'alasan utama‘ lahir sebagai bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, kita wajib turut mensosialisasikan self-awareness kelautan sebagai bagian Empat Pilar Kebangsaan. Lautan menyatukan kita. Nenek moyang kita orang pelaut. Kita terlahir untuk menguasai dan memberdayakan lautan untuk kemakmuran rakyat Indonesia dan dunia.
Kearifan Lokal dalam Konsep Pendidikan Indonesia
Pendidikan termasuk elemen sosial-budaya yang paling mendasar dalam pembentukan self-awareness. Konsep edukasi formal dalam sistem pendidikan Indonesia masih berada dalam kerangka yang parsial. Terlalu banyak materi pembelajaran yang wajib dikuasai anak didik. Dan biasanya materi pembelajaran dasar dan menengah (SD, SMP, dan SMA) Indonesia belum beradaptasi dengan konsep esensial Empat Pilar Kebangsaan. Sehingga nilai-nilai ke-Indonesia-an yang berelasi erat dengan budaya kita belum tersublim dalam peta kognitif generasi muda. Indikasi ini bisa kita amati dari gaya hidup generasi muda yang menggandrungi budaya asing; seperti Korea, Jepang, ataupun Amerika. Mereka memuja band Korea, gaya harajuku, film-film Amerika. Bahkan tidak jarang mereka menceburkan diri dalam kebudayaan pop; kesenangan yang memabukkan atau pergaulan bebas. Untuk itulah, kita perlu mengadopsi kearifan lokal sebagai konsep pendidikan untuk mengenalkan Indonesia melalui jalur pendidikan formal ataupun nonformal. Untuk meningkatkan self-awareness generasi muda sebagai ujung tombak pembangunan sosial, kurikulum pendidikan perlu direkontruksi. Semua jenjang pendidikan
perlu ditata sesuai kearifan lokal Indonesia. Pembelajaran wajib mampu mentransfer ilmu- ilmu sosial-budaya Indonesia. Adopsi kearifan lokal dalam pendidikan Indonesia sangat penting dilakukan dan wajib disegerakan. Mengingat, kesepakatan free-trade dan konsekwensi menjadi masyarakat global telah melanda Indonesia. Kita bisa jumpai setiap hari warga Indonesia dan mungkin termasuk diri kita berjam-jam mengakses internet. Gaya hidup ini memberi peluang internalisasi kebudayaan asing yang mengaburkan kebudayaan lokal dalam self-awareness pribadi. Di samping internet, berbagai saluran televisi, surat kabar, majalah, dan media massa lainnya, turut berperan sebagai katalisator invansi kebudayaan asing ke dalam sistem budaya Indonesia. Serat-serat kebudayaan lokal yang kaya estetika dan nilai-nilai luhur peradaban menjadi kabur dan dilupakan. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang rentan dengan klaim negara lain pada produk budaya; seperti upaya klaim batik, reog ponorogo, dan tari pendet oleh negara Malaysia; atau produk budaya yang berhasil dipatenkan; seperti hak paten tempe oleh negara Jepang.
Tentunya sistem pembelajaran yang penulis maksud tidak fokus pada lembaga pendidikan dasar dan menengah saja, tapi meliputi lembaga pendidikan setara perguruan tinggi. Kearifan lokal wajib menjadi materi pokok jenjang pendidikan dan segala jurusan. Agar kaum intelektual muda bisa mengenali kebudayaan warisan leluhur sebagai bagian dari identitas anak bangsa.
Di samping mempelajari kebudayaan Nasional, materi-materi kearifan lokal dalam pendidikan hendaknya beradaptasi dengan daerah di mana lembaga pendidikan berada. Karena akan lebih mudah dalam menggali serat-serat nilainya. Sebagai contoh, di lembaga pendidikan kawasan Yogyakarta; kearifan lokal Jawa wajib menjadi bagian materi wajib kuliah; yang terdiri dari berbagai alternatif sesuai minat mahasiswa atau pelajar; seperti, seni rupa tradisional, seni teater lokal, seni tari Jawa klasik, seni sastra Jawa, seni musik (karawitan), dan sebagainya.
Implikasi positif dari adopsi kearifan lokal sebagai materi pembelajaran wajib, pelajar dan mahasiswa yang berasal dari luar provinsi wilayah pendidikannya berpeluang mempelajari dan mengenal secara langsung kekayaan kebudayaan Indonesia yang berada di luar kebudayaannya. Hal ini akan menekan imbas paham primordial, prejudice, dan paham-
paham kedaerahan yang kontraproduktif lainnya; sehingga integrasi bangsa secara riil bisa kita kukuhkan dan kita bela bersama. Generasi muda Indonesia menjadi mampu berpikir lokal dan bertindak global.
Budaya Literasi
Sesungguhnya, Empat Pilar Kebangsaan sangat akomodatif sebagai solusi sebagian besar polemik sosial yang menggerogoti sendi-sendi Indonesia. Aplikasi Empat Pilar Kebangsaan dalam kehidupan akan mengantarkan kita ke ranah kekeluargaan. Sehingga, kita bisa bersatu padu dalam mengukuhkan eksistensi Indonesia di tengah badai globalisasi. Namun menjadi polemik sebab Epat Pilar Kebangsaan tidak lepas dari perspektif kesejarahan yang membangun paradigma integrasi. Polemik yang penulis maksud di sini; sejarah Indonesia pascakemerdekaan sangat rentan dengan tindakan-tindakan manipulatif, rekayasa, atau penghancuran oleh rezim tertentu untuk melanggengkan kekuasaannya. Indikasi ini terlihat frontal masa rezim Orde Baru. Materi pembelajaran (pendidikan) dan paradigma sejarah dipegang oleh pemerintah yang berkuasa. Miskin alternatif. Perbedaan perspektif cenderung diasumsikan sebagai benih separatis; bukan disikapi sebagai kritik yang akan memunculkan dialog dan memperkaya pemahaman kita pada eksistensi Indonesia. Tanpa mengabaikan rasa hormat pada sumbangsih pembangunan masa rezim Orde Baru, masa rezim ini berkuasa, kesejarahan Indonesia lebih bersifat politis yang berelasi erat dengan kekuasaan golongan. Materi-materi kesejarahan lebih mengarah pada upaya pencitraan kebenaran dari realitas tunggal, bukan kebenaran yang berasal dari realitas yang telah dikritisi. Mengingat Empat Pilar Kebangsaan juga mewarnai paradigma kesejarahan yang sarat politis ini, menjadi 'lampu merah‘ untuk kita bersama; apakah Empat Pilar Kebangsaan rentan dengan motif politis yang akan menjauhkan visi utama sebagai paham yang merekat ke-Indonesia-an?
Bila tidak terjadi upaya dialogis secara universal di Indonesia, tidak menutup kemungkinan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan lebih mengarah pada kepentingan politik. Di lain sisi, keberadaan Empat Pilar Kebangsaan berpotensi besar diasumsikan masyarakat sebagai wajah baru dari pencitraan politis rezim yang tengah berkuasa. Masyarakat Indonesia yang mengalami pengalaman traumatis akan bersikap antipati. Upaya dialogis akan menjembatani masyarakat dan 'duta‘ Empat Pilar Kebangsaan. Di sinilah kebudayaan literasi memegang peran penting dan perlu disebarkan.
Budaya literasi secara sederhana bisa dimaknai sebagai budaya kesusastraan. Elemen utama budaya literasi tentunya penguasaan pada aksara dan bahasa. Budaya literasi bisa menjadi lawan untuk pemerintah yang tirani dan bisa menjadi pendukung pembangunan sosial pemerintahan yang berkeadilan. Karya sastra adalah refleksi realitas masyarakat yang sesungguhnya. Melalui sastra semua elemen-elemen kehidupan dibahasakan. Jika kita ingin mengenal sebuah bangsa, maka kita wajib membaca dan menggali unsur-unsur nilai yang tertuang dalam karya sastra.
Budaya literasi adalah jantung peradaban. Mengenal sastra berarti mengenal sebuah bangsa secara utuh. Tidak heran pada masa Revolusi Budaya (1966-1976) kekuasaan Mao Zedong tidak sedikit karya sastra Cina dihancurkan. Demikian pula realitas di Indonesia yang terjadi hingga sekarang, paradigma pembangunan yang menjadikan industrialisasi sebagai menara suar telah menuntun kita menjadi bangsa yang terancam buta sastra. Pada ranah yang sederhana kondisi yang memprihatinkan di ranah budaya literasi di Indonesia dapat kita lihat dari rendahnya penghargaan pada pekerja seni di bidang sastra. Menjadi pengarang profesional di Indonesia menjadi perjuangan terbilang berat. Pengarang adalah inovator. Untuk melahirkan sebuah karya mereka wajib membaca; baik materi yang tersirat (realitas sosial), atau tersurat (tekstual). Setiap karya, seaneh apapun, tak akan lepas dari peristiwa faktual. Sehingga self-awareness seorang penulis atau pengarang karya sastra adalah kesadaran otonom.
Sastra adalah bahaya untuk kekuasaan tirani. Menjadikan sastra bagian kehidupan berarti kita memutuskan untuk mengenali pola-pola sosial yang ada dalam masyarakat. Selanjutnya, kita akan hanyut dalam diskursif kebangsaan, kemerdekaan, hak asasi, dan nilai- nilai kemanusiaan lainnya. Hal inilah yang dialami pendiri bangsa Indonesia pada masa pendudukan kolonial, khususnya masa pendudukan kolonial Belanda.
Masa pendudukan kolonial Belanda menjadi zaman emas budaya literasi di Nusantara. Wacana ini muncul dalam Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama yang disampaikan Taufiq Ismail sebagai pidato kunci pada Rakerpus IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia), 31 Mei – 3 Juni 2005 di Pekan Baru. Penyair kondang kelahiran Bukittinggi ini memaparkan kemunduran minat baca sastra di Indonesia, khususnya di lembaga pendidikan formal. Antara Juli-Oktober 1997, Taufiq Ismail mewawancarai alumni SMA dari 13 negara dengan pertanyaan; 1) kewajiban membaca buku, 2) tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah, 3) bimbingan menulis dan 4) pengajaran sastra di tempat mereka selama 3 atau 4 tahun. Dari 13 negara yang diuji, Indonesia pascakemerdekaan menempati urutan terbawah (0 judul).
Taufiq Ismail menegaskan indikasi 'Tragedi Nol Buku‘ dimulai pada tahun 1950. Di mana kedaulatan negara telah jatuh secara total ke tangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun tampaknya terjadi difusi efek politik mercusuar. Pembangunan Indonesia seolah terkontaminasi 'perang dingin‘ yang diperbudak 'teknologi‘. Salah satu produknya bisa kita kenal sebagai Tugu Monas-Jakarta menjadi ikon kemajuan yang dibangun kala masyarakat Indonesia masih memikul kerugian moril dan materil akibat revolusi fisik.
Pengkultusan teknologi sebagai wajah eksistensi Indonesia sebagai bangsa yang merdeka menjadikan ilmu-ilmu pengetahuan eksakta dipuja. Wajib baca 25 buku sastra— berlaku pada murid Algemene Middelbare School (SMA zaman pendudukan kolonial Belanda) Yogya dalam waktu 3 tahun—diamputasi sebab dianggap tidak penting. Sehingga lahirlah kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut ekonomi-politik, yakni pembangunan jalan raya, rumah sakit, pertanian, perkebunan, pabrik-pabrik industri, dan investasi negara asing yang tidak jarang mengabaikan keseimbangan ekosistem alam. Meski wawancara Taufiq Ismail kuantitatif tahun 1997, data itu terbilang masih berkorelasi erat dengan realitas kontekstual. Karena mayoritas masyarakat Indonesia tidak hanya buta sastra, tapi juga buta medium yang menuntun mereka dalam mengenal sastra, yaitu aksara.
Rendahnya pengkajian sastra mengakibatkan pola pikir kita menjadi tidak terstruktur. Indikasi ini bisa kita amati dari pola pengembangan pikiran antara sebuah buku sastra dan artikel sebuah surat kabar. Sebuah peristiwa kematian yang disebabkan konflik di Papua bisa ditulis wartawan dengan tuntas dalam sepuluh paragraf. Padahal, bila peristiwa ini masuk ke ranah sastra, di tangan pengarang, peristiwa yang sama bisa konfigurasikan dalam sebuah buku yang sangat representatif, novel Tanah Tabu misalnya. Melalui novel yang menjadi pemenang utama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (2008) ini sang pengarang, Anindita S. Thayf, menuntun kita menemukan akar konflik Papua.
Dari wawancara Taufiq Ismail terdapat temuan pelajar SMA membaca buku sastra masa pendudukan Hindia Belanda Yogyakarta (1939-1942) 25 judul dan Hindia Belanda Malang (1929-1932) 15 judul. Sungguh perbandingan yang sangat kontras dengan posisi 0 judul di masa kemerdekaan.
Melalui sastra serat-serat kompleksitas kehidupan individu bisa tergali dengan komprehensif. Tak heran bila integrasi budaya sangat erat pada masa pra kemerdekaan yang dibuktikan kelahiran Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Para intelektual muda masa lalu mempunyai pola pikir struktural, bukan dominasi pola pikir parsial dan gaya hidup instan, sebagaimana sekarang.
Kebudayaan literasi termasuk jalan yang wajib kita tempuh untuk merekatkan Empat Pilar Kebangsaan ke dalam self-awareness masyarakat. Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan tanpa mengobarkan pembangunan sosial bidang budaya literasi tak akan mencapai kondisi integrasi yang menjadi bagian visi Empat Pilar Kebangsaan.
Pembangunan sosial bidang literasi berkorelasi erat dengan peningkatan budaya baca dan tulis. Sehingga sasaran utama kita adalah pemberantasan buta aksara. Karena pemerintah telah menelurkan kebijakan kenaikan biaya pendidikan formal; maka pemerintah wajib mendukung, mengagendakan, dan merealisasikan pendidikan alternatif untuk rakyat Indonesia. Ketidakmampuan dalam menguasai aksara memutuskan kita dengan bahasa yang menjadi instrumen komunikasi. Jika seorang individu tidak mampu berbahasa, bagaimana dia bisa menyampaikan atau menuntut hak asasinya yang dijanjikan dan dilindungi negara? Bila respon negara tidak memungkinkan, kita sebagai generasi muda dapat bertindak independen. Kita bisa mendirikan kelompok belajar di daerah kita masing-masing. Kemampuan kita membaca dan berhitung adalah tambang emas yang juga menjadi impian para buta aksara.
Untuk mendukung pemberantasan buta aksara, perlu adanya pendirian perpustakaan daerah. Sebagai pemuda berasal dari daerah Sumatera Barat, penulis sangat merasakan ketertinggalan kami di daerah bukan sebab daya intelektual yang rendah, tapi kami masih belum banyak membaca buku. Hal ini semakin terasa sebab penulis mempunyai minat tinggi dalam penulisan sastra.
Semasa SMA di Sumatera Barat, penulis tergolong pelajar yang sangat menonjol di bidang sastra dan diharapkan menjadi sastrawan. Tapi saat menginjakkan kaki di Yogyakarta tahun 2002, penulis bukan siapa-siapa. Perlu belajar lagi dengan lebih banyak membaca dan waktu sekitar enam tahun untuk mencapai standar penulisan Yogyakarta yang menjadi gudang cendikiawan muda.
Penguasaan bahasa dan keberadaan perpustakaan tak akan lengkap dengan realisasi budaya tulis. Melalui menulis, khsususnya sastra (cerpen atau novel), kita terlatih untuk mendokumentasikan ilmu pengetahuan yang kita miiki. Sastra juga menuntut kita mempunyai paradigma rasional ilmiah. Bahkan sastra bisa menjangkau kehidupan sosial secara kompleks. Mempelajari dan mengembangkan budaya literasi berarti kita turut mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akan lebih baik lagi bila adopsi sastra dalam konsep pendidikan zaman Belanda diaplikasikan kembali ke dalam sistem pendidikan Indonesia. Kualitas pembelajaran sastra di jenjang pendidikan, khususnya dasar dan menengah, wajib ditingkatkan. Tanpa sastra, kita kehilangan kontak dengan informasi dan mengalami kemunduran dalam berkomunikasi. Teknologi tanpa sastra akan menyulap kita menjadi robot-robot yang tunduk pada industri dan tirani.
Generasi Muda dan Pembangunan Sosial
Sebagai pelengkap wacana, tindakan yang nyata adalah ekspresi dari Empat Pilar Kebangsaan yang sesungguhnya. Khususnya pada konteks ini, kita wajib mengobarkan andil generasi muda dalam pembangunan sosial. Membangun Indonesia tidak wajib melakukan hal yang luar biasa, tapi kita bisa melaksanakan hal yang sederhana dengan semangat yang istimewa.
Sebagai salah seorang pemuda yang beruntung untuk sejajar dengan Pemuda Berprestasi Tingkat Nasional Penghargaan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia, penulis sangat takjub dengan andil saudara-saudara pemuda di Nusantara. Ternyata Indonesia mempunyai pemuda-pemuda yang sadar, mencintai, dan berjuang untuk mengabdi pada masyarakat Indonesia di bidang mereka masing-masing. Tidak menunggu waktu mengubah segalanya, tapi mereka memulai pembangunan dengan hal sederhana dengan impian yang luar biasa.
Maka dari itu, izinkan penulis memperkenalkan Indri Masruroh. Dia adalah rekan penulis dalam barisan Pemuda Berprestasi Tingkat Nasional Penghargaan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia, Andi A. Mallarangeng, pada puncak peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-82 (28 Oktober 2010) di Surakarta (Solo).
Kita sadari atau tidak, metode belajar konvensional yang menjadikan buku sebagai bahan utama pembelajaran sulit mencapai tingkat pemahaman maksimal untuk anak didik. Belajar dari buku saja tak akan membentuk sebuah jalinan kemunikasi yang efektif dalam transformasi ilmu pengetahuan. Kita membutuhkan wujud nyata sebagai media perwujudan konsep ilmu pengetahuan dalam dimensi ruang dan waktu. Tanpa adanya wujud nyata ini, buku-buku menjelma teori yang berisi huruf-huruf mati. Di sinilah letak ketertinggalan daerah dibandingkan kota. Kekurangan fasilitas alat-alat peraga dalam proses belajar- mengajar bisa menghambat laju pertumbuhan kognitif anak didik.
Sebagai tenaga pengajar di TK Dharma Wanita Plancungan, Ponorogo, Jawa Timur, Indri Masruroh merasakan kendala ketiadaan perangkat peraga. Problem ini bersinergi dengan kecemasannya pada pengaruh limbah pada lingkungan. Maka, Indri Masruroh dengan sabar menjelaskan kepada anak didiknya untuk mengumpulkan limbah berupa kemasan plastik makanan instan. Selain itu, anak didiknya juga dituntun untuk mengumpulkan limbah alami seperti ranting-ranting, daun-daun kering, biji-bijian. Setelah bahan-bahan terkumpul, Indri Masruroh dan murid-muridnya membuat perangkat peraga huruf alfabet yang dinamakan Pohon Pintar.
Proses pembuatan 'pohon pintar‘ sangat sederhana. Daun-daun dan kemasan makanan ringan dari plastik digunting dengan pola daun atau sesuai inovasi pribadi murid. Ranting berfungsi sebagai batang Pohon Pintar. Biji-bijian ( seperti lamtoro, jagung, dan semangka) direkatkan dengan lem pada daun Pohon Pintar membentuk huruf alfabet. Daun-daun dengan tempelan huruf alfabet ini dikaitkan pada cabang-cabang Pohon Pintar. Penggunaan Pohon Pintar, yaitu siswa mencocokkan huruf alfabet yang ada di daun dengan bentangan kotak huruf-huruf alfabet yang ada di bawah pohonnya. Pohon pintar menjadi permainan favorit dan mempermudah anak didik untuk segera mahir dalam mengenal dan menguasai huruf alfabet.
Inovasi Indri tidak terhenti pada pohon pintar semata. Dukungan dan simpati masyarakat, khususnya karang taruna, semakin memicu motivasi Indri Masruroh untuk berekreasi dan menghasilkan perangkat peraga lain; seperti sempoa dari jagung, puzzle menara dari kardus, dan sebagainya. Anak didiknya semakin senang belajar sebab langsung mengalami dan terlibat dalam visualisasi konsep pendidikan. Berkat perangkat peraga inovasinya, Indri Masruroh terpilih sebagai Pemuda Pelopor Provinsi Jawa Timur dan Pemuda Pelopor Tingkat Nasional tahun 2010.
Penutup
Empat Pilar Kebangsaan wajib menjadi sebuah konsep yang universal dan terus kita perbaharui melalui proses yang dialogis. Tidak hanya konsep yang mati atau mutlak. Karena melalui proses dialogis ini akan terungkap konsep ke-Indonesia-an yang sejati. Di mana kita akan bersatu dan mengembalikan kejayaan Indonesia di masa lalu; jaya di laut, jaya pula di daratan.
Empat Pilar Kebangsaan adalah kunci untuk kita mewujudkan integrasi bangsa dan cita-cita kemerdekaan. Namun, tanpa pemaknaan yang representatif dan berkorelasi dengan bukti-bukti empiris, Empat Pilar Kebangsaan terperangkap dalam pemahaman teoritis dan normatif. Empat pilar Kebangsaan tak akan menjadi self-awareness (kesadaran diri) kolektif bangsa Indonesia. Sehingga tujuan sosialisasi dan pembentukan konsep Empat Pilar Kebangsaan tidak tercapai.
Bila kita korelasikan Empat Pilar Kebangsaan dengan bukti-bukti empiris ke- Indonesia-an, Empat Pilar Kebangsaan bertransformasi ke ranah yang universal. Lebih bisa dipahami dan diaplikasikan sebagai self-awareness. sebab Empat Pilar Kebangsaan mampu mewakili konsep integrasi bangsa.
Tindak lanjut dari Empat Pilar Kebangsaan adalah timbulnya self-awareness masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, untuk mendayagunakan potensi diri pribadi untuk berperan serta dalam pembangunan sosial. Dengan demikian, kualitas sumberdaya manusia yang berakarakter dan mempunyai self-awareness Empat Pilar Kebangsaan akan lahir dan berani meneguhkan eksistensinya sebagai pengabdi masyarakat dalam mewujudkan cita- cita kemerdekaan yang tertera dalam pembukaan UUD 1945.
Daftar Acuan
- Armando, Nina M. (2006). Psikologi Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka
- Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta dengan Tim Pengkajian
- Lembaga Penelitian dan Pengkajian Sejarah dan Antropologi 2004. (2007).
- Toponim Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta.
- Djamaris, Edwar. (2001).
- Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Katalog Kotagede. (2009). Kotagede dalam Sketsa Perak 2009. Yogyakarta.
- Mangunwijaya, Y.B. (1986). Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak. Jakarta: Gramedia.
- Yasmine, Daisy Indra. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
- Wibowo, Agung Setiyo. (2009). Benang-benang Perajut Keindonesiaan. Jakarta: Jurnal Kohesi BEM Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Sumber : pilarbangsa.id
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.