Mencermati kecenderungan kemungkinan dan bekerjanya ancaman pada pertahanan negara, sesungguhnya kosepsi pertahanan nonmiliter sudah memberikan kerangka landasan operasional yang terpadu dalam rangka membangun dan membina kemampuan daya tangkal negara dan bangsa. Sebagai tonggak kekuatan dalam konsepsi itu adalah dinamika kerja kode etik dan sikap profesionalisme dari masing-masing individu yang teragregasi dalam kelompoknya menjadi team work yang kuat. Ketika kode etik dan profesionalisme yang membentuk satu satuan kekuatan itu diletakkan dalam kerangka tujuan yang berkaitan dengan kepentingan nasional, sesungguhnya landasan yang bekerja adalah kesadarannya dalam melaksanakan pembelaan negara dalam wujud yang paling halus. Untuk dapat lalu menjadi bagian resultante dari pelaksanaan pembelaan negara itu alias melaksanakan usaha pertahanan negara dalam pertahanan nonmiliter, maka harus ada pemahaman dasar mengenai ancaman nonmiliter yang lalu tersublimasi pekerjaanya untuk melindungi dan mejaga kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap negara dan bangsa. Dengan kata lain bahwa dalam koin kinerja kode etik dan profesionalismenya, pada satu sisi dia bekerja melaksanakan upaya pembelaan dan di sisi lain dia melaksanakan usaha pertahanan negara menghadapi ancaman nonmiliter.
Selanjutnya dalam konsepsi pertahanan nonmiliter susunan kekuatannya terdiri dari unsur utama dan unsur pendukung. Sesuai dengan sifat ancaman nonmiliter yang spesifik dalam bentuk dan sifatnya, kemampuan dan daya tangkal yang dipersiapkan harus bersifat khusus. Sektor yang membidangi dan sesuai kemampuannya berkaitan dengan sifat dan bentuk ancaman otomatis menjadi unsur utama. Namun demikian, dalam unsur utama mengerahkan kekuatan melaksanakan tugasnya memerlukan dukungan, maka dipersiapkanlah unsur pendukung. Unsur pendukung ini dapat bersifat aktual berkaitan dengan logistik, peralatan, dan komunikasi atau komando dan pengendalian, melainkan juga dapat bersifat administratif berupa dukungan melakukan lokalisasi atau membatasi daerah serta melakukan pengawasan lalu lintas ke area terakibat.
Untuk ancaman yang bersifat kewilayahan dalam arti geografi, hal demikian mudah dilakukan. Dalam hal kewilayahan bersifat maya seperti misalnya politik dan ekonomi, maka unsur utama dan unsur pendukung dapat ditetapkan dalam kesepakatan bidang ancaman yang dihadapi. Dengan dasar itu maka profesionalisme dapat bekerja walaupun masih akan terdapat kegamangan kalau lalu landasan kebangsaan dan kesadaran bela negaranya tidak melekat. Dalam kerangka inilah saat yang dihadapi menyangkut dimensi kewilayahan yang bersifat maya sesungguhnya terdapat dua dimensi unsur utama dan unsur pendukung. Dimensi pertama sama susunan kekuatannya dengan jika menghadapi ancaman yang bersifat kewilayahan dalam arti geografis, sedangkan dimensi kedua susunan kekuatan terdiri dari profesionalisme sebagai unsur utama, sedangkan dimensi kesadaran membela negara menjadi unsur pendukung.
Baik dalam tonggak kekuatan atau susunan kekuatan konsepsi pertahanan nonmiliter yang dikemukakan di atas, kesadaran membela negara menjadi faktor kunci yang akan melandasi profesionalisme individu atau kelompok yang menjadi kekuatan pertahanan nonmiliter. Oleh sebab itu, dalam rangka membangun kemampuan daya tangkal negara dan bangsa, gugah kesadaran bela negara adalah strategi nonmiliter yang sangat mendasar. Dengan kesadaran bela negara profesionalitas individu ataupun kelompok dapat disatukan, serta jika koordinasi menjadi faktor teknisnya, kesadaran bela negara akan menjadi katalisator meleburkan ego sektoral yang selama ini dikeluhkan.
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Jika kewajiban warga negara dalam bela negara lahir dari implikasi tuntutan partisipasi sebagai warga negara, hak warga negara dalam bela negara lahir sebagai kehormatan atas keagungan negara sebagai wadah bersama dan sebab kecintaannya kepada negara yang mempunyai wilayah dan berbagai aspeknya tempat warga negara hidup dan memelihara kehidupannya baik dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, teknologi, informasi, komunikasi, keselamatan umum, dan hukum.
Pengejewantahan kesadaran bela negara dalam profesionalisme mengelola sumber daya nasional guna mencapai tujuan kesejahteraan menjadi dasar dalam membangun daya tangkal negara dan bangsa baik dari aspek militer atau nonmiliter. Oleh sebab itu strategi gugah kesadaran bela negara ini harus terejewantahkan dalam segenap aspek dinamika kehidupan bangsa, dan dilakukan secara dini melalui pendidikan kewarganegaraan.
Pengejewantahan strategi gugah kesadaran bela negara ini dalam segenap aspek dinamika kehidupan bangsa, lebih pada sifat implementatif. Dia adalah jabaran relasi antara warga negara dan negara. Secara konseptual strategis, bela negara akan berupa spektrum dari upaya yang beraneka ragam bentuk dan sifatnya, yang berpadu meresultante dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sampai dengan mewujudkan pertahanan dan keamanan dalam kerangka membela dan melindungi kepentingan nasional dan kedaulatan negara. Selama ini, aspek kewajiban warga negara dalam pembelaan negara lebih menonjol, dan sebaliknya aspek yang menggugah kesadaran bela negara warga negara yang menjadi kewajiban negara jarang ditekankan. Sadar ataupun tidak sadar perilaku koruptif pejabat negara dan pelaku politik termasuk pejabat partai, menjadi pemicu distrust sehingga hilang kesadaran warga negara untuk membela negara. Di sinilah sesungguhnya negara harus sadar bahwa kehendaknya mendorong kewajiban membela negara, harus diimbangi dengan upaya segenap unsur kekuatan bangsa, khususnya pemangku tanggung jawab sektor untuk melakukan yang terbaik membangun trust warga negara. Bahwa peran sektor-sektor di luar bidang pertahanan yang adalah bagian dari kekuatan nonmiliter, sesungguhnya menjadi kunci untuk menjalankan strategi gugah kesadaran bela negara melalui pelayanan prima mereka, sehingga terbangun tidak saja trust tetapi bahkan belief warga negara untuk membela negara.
Selanjutnya sebagai upaya dini gugah kesadaran bela negara, secara yuridis amanat pendidikan kewarganegaraan tertuang dalam Pasal 9 ayat (2) huruf “a.”. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 mengenai Pertahanan Negara. Di sisi lain amanat pendidikan kewarganegaraan sebagai kurikulum wajib pendidikan dasar, menengah dan tinggi tertuang dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pedidikan Nasional. Dalam konteks Undang-Undang ini, biasanya pendidikan kewarganegaraan cenderung dipahami secara sempit sebagai sebuah kurikulum yang berbobot intelektualitas semata. Pandangan demikian ini mengakibatkan pendidikan kewarganegaraan terjebak dalam formalisme keberhasilan melalui tolok ukur nilai hasil ujian. Menghindari hal demikian itu harus dipahami bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah kebijakan publik sebagai upaya sadar pada warga negara agar dalam kedudukan dan profesionalismenya dilandasi oleh sikap dan moral kebangsaan menjadi kekuatan mewujudkan tujuan nasional.
Dengan konteks itu, pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan nasional adalah pendidikan dini menjaga kelangsungan hidup dan kejayaan bangsa Indonesia. Pendidikan kewarganegaraan lanjut adalah dalam rangka mewujudkan unsur lain kekuatan bangsa yang dalam profesionalismenya dapat menerapkan nilai-nilai kewarganegaraan dan bela negara. Pendidikan kewarganegaraan dini adalah pendidikan nilai-nilai cinta tanah air dan rasa kebangsaan. Implementasi pendidikan kewarganegaraan tingkat lanjut adalah membangun dan menerapkan patriotisme dalam berbagai fungsi pemerintah dan lembaga masyarakat dan swasta.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai kebijakan publik di bidang pertahanan mencakup pemahaman kesadaran bela negara. Upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga adalah kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Dengan demikian bela negara berspektrum luas mencakup sistem dan nilai dan norma sosial, politik, dan ekonomi masyarakat dan sistem kenegaraan.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan kewarganegaraan pada sistem pertahanan negara mencakup segenap aspek kehidupan, sehingga dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal dan pendidikan informal, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, dan pendidikan layanan khusus. Pendidikan kewarganegaraan yang dilaksanakan dalam pendidikan formal adalah bagian dari upaya dini pemerintah mempersiapkan sistem pertahanan negara bersifat semesta sehingga dia adalah tahap awal pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan kewarganegaraan dalam di luar pendidikan formal adalah tahap lanjut pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan diselenggarakan secara nasional oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Lembaga Masyarakat, dan Swasta, yang diatur dalam kebijakan umum penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan. Di dalam kebijakan umum diatur kewenangan, standar isi dan standar kompetensi. Pendidikan kewarganegaraan tahap awal berada dan dilaksanakan oleh sistem pendidikan nasional, sedangkan tahap lanjut dilaksanakan oleh seluruh instansi/ lembaga pemerintah dan nonpemerintah dengan mengacu pada kebijakan umum penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan yang dirumuskan Pemerintah. Pengelolaan pendidikan kewarganegaraan memiliki tujuan menjamin kesinambungan dan sinergi berbagai fungsi penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan dalam mewujudkan partisipasi warga negara secara demokratis dalam sistem kehidupan nasional berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Arah kebijakan pengelolaan sistem pendidikan kewarganegaraan dirumuskan dalam kebijakan nasional pengelolaan pendidikan kewarganegaraan yang dirumuskan Pemerintah berdasar kebijakan dan strategi pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Dengan wujud kebijakan pendidikan kewarganegaraan seperti itu, maka pendidikan kewarganegaraan adalah bagian dari sistem peringatan dini pertahanan negara. Kebijakan pendidikan kewarganegaraan demikian itu akan dapat membangun kesadaran masyarakat mengenai pertahanan yang dilandasi oleh kesadaran bela negara (state defence awareness), yang menjadi sarana pengembangan sistem peringatan dini, sehingga dapat menjadi kemampuan daya tangkal yang handal negara dan bangsa menghadapi ancaman nonmiliter.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.