Thursday, July 30, 2015

Upaya-upaya Pemerintah Indonesia dalam Penegakan HAM


A. Upaya Pemerintah dalam Penegakan HAM

Hak asasi manusia tidak lagi dilihat sekadar sebagai perwujudan faham individualisme dan liberalisme. Hak asasi manusia lebih dipahami secara humanistis sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat dan martabat kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin dan pekerjaannya. Dewasa ini pula banyak kalangan yang berasumsi negatif pada pemerintah dalam menegakkan HAM. Sangat perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat serius dalam menegakkan HAM. Hal ini dapat kita lihat dari upaya pemerintah sebagai berikut;


  1. Indonesia menyambut baik kerja sama internasional dalam upaya menegakkan HAM di seluruh dunia atau di setiap negara dan Indonesia sangat merespons pada pelanggaran HAM internasional hal ini dapat dibuktikan dengan kecaman Presiden atas beberapa agresi militer di beberapa daerah akhir-akhir ini contoh; Irak, Afghanistan, dan baru-baru ini Indonesia juga memaksa PBB untuk bertindak tegas kepada Israel yang telah menginvasi Palestina dan menimbulkan banyak korban sipil, wanita dan anak-anak.
  2. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan penegakan HAM, antara lain telah ditunjukkan dalam prioritas pembangunan Nasional tahun 2000-2004 (Propenas) dengan pembentukan kelembagaan yang berkaitan dengan HAM. Dalam hal kelembagaan telah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan kepres nomor 50 tahun 1993, serta pembentukan Komisi Anti Kekerasan pada perempuan
  3. Pengeluaran Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia , Undang-undang nomor 26 tahun 2000 mengenai pengadilan HAM, serta masih banyak UU yang lain yang belum itukan menyangkut penegakan hak asasi manusia.

Upaya-upaya Pemerintah Indonesia dalam Penegakan HAM

Menjadi titik berat adalah hal-hal yang tertulis dalam UU nomor 39 tahun 1999 mengenai hak asasi manusia adalah sebagai berikut;
1. Hak untuk hidup.
2. Hak berkeluarga.
3. Hak mendapat keadilan.
4. Hak atas kebebasan pribadi.
5. Hak kebebasan pribadi
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak atas kesejahteraan.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan.
9. Hak wanita
10. Hak anak
Ha-hal itu sebagai bukti konkret bahwa Indonesia tidak main-main dalam penegakan HAM.

B.  Pengakuan dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Meskipun Republik Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat atau hak individu, namun pelaksanaan hak-hak individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya sebab bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal dalam UUD RIS 1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS itu tidak memungkinkan untuk melakukan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.

Kemajuan yang sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950 itu, penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik. Patut diingat bahwa pada masa itu, perhatian bangsa pada masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa itu, Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan pada tahun 1952.

Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional tentang HAM, yakni Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi pada Perempuan (1979) dan Konvensi mengenai Hak Anak (1989).

Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasar Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993, yang memiliki tujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif untuk pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM “guna mendukung tujuan pembangunan nasional”. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang mempunyai kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri sebab para anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak terlalu berarti sebab pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.

Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan penegakan HAM, yang sebelumnya adalah gerakan arus bawah, muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini mendapat impetus dengan diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 mengenai HAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai “perangkat lunak” berlanjut dengan diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 mengenai pengadilan HAM yang memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU itu dibuat.
Pada masa itu dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak disepakati sebagai keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal justice (keadilan kriminal), melainkan juga bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional justice (keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan administratif), political justice (keadilan politik), economic justice (keadilan ekonomi), social justice (keadilan sosial), dan bahkan historical justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian, perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional criminal justice sebab memang adalah salah satu aspek transitional justice yang berakibat langsung pada dan menyangkut kepentingan dasar baik dari pihak korban atau dari pihak pelaku pelanggaran HAM itu. Di samping itu, bentuk penegakan transitional criminal justice adalah elemen yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang diupayakan.

Upaya penegakan transitional criminal justice biasanya dilakukan melalui dua jalur sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di luar proses pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.

Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta adalah upaya penciptaan kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang berupa berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.

C. Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya represif tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi hukum dan demokrasi wajib ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis wajib dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum wajib memenuhi kewajiban dengan memberikan pelayanan baik dan adil kepada masyarakat, memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.

Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini perlu dibatasi. Desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan. Otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan wajib ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas kekurangan yang selama ini masih terjadi.

Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara melaksanakan reformasi struktural, infromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan penyelesaian pada berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.

Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa wajib mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia untuk orang dewasa. Anak-anak wajib diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak wajib mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat ketentuan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.

Selain hal-hal itu, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan pengawasan yang dilakukan lembaga-lembaga politik pada setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.

Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum.

Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM adalah kewajiban seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat mendapat keadilannya secara realistis.

Pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan negara (pemerintah), tetapi juga oleh suatu kelompok, golongan, ataupun individu pada kelompok, golongan, atau individu lainnya. Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran HAM yang dilakukan negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin jauh lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan dengan langkah-langkah seperti berikut ini:

  1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
  2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
  3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.
  4. Memperkuat dan melaksanakan konsolidasi demokrasi.


D. Pemerintah Masih Harus Bekerja Keras dalam Penegakan HAM
Wakil Presiden (Wapres) Boediono mengakui bahwa pemerintah masih wajib bekerja keras dalam upaya penegakan hak asasi manusia (HAM). Di samping itu, sudah ada perangkat yang cukup dalam aturan-aturan.

Demikian dituturkan Mantan Wapres Boediono dalam peringatan Hari HAM Sedunia di Istana Wapres, Jakarta, Jumat (10/12). Turut hadir dalam acara itu Ketua Komisi Nasional HAM Ifdhal Kasim, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.

"Perangkat cukup secara on paper. Undang-undang tentang HAM saat ini sudah ada dan perangkat hukum itu barangkali bisa berkembang terus. Sebab, definisi HAM juga sangat dinamis, nanti mungkin ada perkembangan lain yang ditampung," ujar Wapres Boediono.

Dicontohkan, perubahan yang terjadi pada ayat 10 dalam konstitusi adalah salah satu yang fundamental. Itu menjadi contoh upaya menegakkan HAM.

Mantan Wapres Boediono mengatakan, masalah penegakan HAM pada akhirnya akan kembali kepada manusia-manusianya. Baik oleh pejabat, pimpinan perusahaan, parpol, dan lainnya. Salah satunya, pendekatan kepada masyarakat untuk mempunyai Kewajiban Asasi Manusia untuk menghargai HAM.

Di sisi lain, sambung Boediono, pembangunan adalah bagian dasar dalam pelaksanaan HAM di Indonesia. Dalam arti, misalnya, pemenuhan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, penghasilan, dan hak gizi masyarakat.

"Demi tercapainya pelaksanaan HAM dan pembangunan, kesejahteraan masyarakat wajib terus ditingkatkan dengan keadilan. Itu penting agar kita selalu merasa mempunyai negara kita," ucap Boediono.

3 comments:

  1. nice post gan :)
    buat referensi silahkan di lihat"
    http://ratri-anime26.blogspot.co.id/2015/12/hai.html

    ReplyDelete
  2. keren..
    Jangan lupa juga ya kunjungi blog saya buat referensinya
    https://duniakanz.blogspot.com

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...